*DIALOG SUNNI VS WAHABI*
*KELOMPOK MINORITAS SEBAGAI AHLUSSUNNAH WAL-JAMAAH???*
*JAWABAN TERHADAP WAHABI AN NAJDY*
*WAHABI:* Meskipun kami minoritas, kami tetap Ahlussunnah Wal-Jamaah.
*SUNNI:* Dalam banyak hadits shahih, Ahlussunnah Wal-Jamaah harus berupa golongan mayoritas, bukan minoritas. Antara lain hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه يَقُولُ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: إِنَّ أُمَّتِيْ لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ اِخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. (حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ بِطُرُقِهِ).
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, berkata: "Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Majah (3950), Abd bin Humaid dalam al-Musnad (1220), al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (2069), al-Lalaka'i dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahl al-Sunnah (153) dan Abu Nu'aim dalam Hilyat al-Auliya' (9/238). Al-Hafizh al-Suyuthi menilai hadits ini shahih dalam al-Jami' al-Shaghir (1/88). Demikian pula Syaikh Syu'aib al-Arna'uth juga menilai hadits tersebut kuat dan dapat dijadikan hujjah berdasarkan syawahid-nya dalam tahqiq Siyar A'lam al-Nubala' (12/196-197).
*WAHABI:* Abdullah bin Mas’ud berkata, walaupun minoritas atau bahkan seorang diri, kalau sesuai dengan kebenaran, masih Ahlussunnah Wal-Jamaah.
*SUNNI:* Anda kami sodorkan hadits shahih, tetapi malah mempertentangkannya dengan atsar Ibnu Mas’ud. Sekarang Anda kami ajak meneliti maksud atsar Ibnu Mas’ud tersebut, apakah sesuai dengan maksud Anda atau tidak sesuai?
*WAHABI:* Bagaimana menurut Anda?
*SUNNI:* Atsar tersebut redaksinya begini:
عن عمرو بن ميمون ، قال : قدم علينا معاذ بن جبل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فوقع حبه في قلبي ، فلزمته حتى واريته في التراب بالشام ، ثم لزمت أفقه الناس بعده عبد الله بن مسعود ، فذكر يوما عنده تأخير الصلاة عن وقتها ، فقال : « صلوها في بيوتكم ، واجعلوا صلاتكم معهم سبحة » . قال عمرو بن ميمون : « فقيل لعبد الله بن مسعود : » وكيف لنا بالجماعة ؟ « فقال لي : » يا عمرو بن ميمون ، إن جمهور الجماعة هي التي تفارق الجماعة ، إنما الجماعة ما وافق طاعة الله وإن كنت وحدك
Amr bin Maimun berkata: “Mu’adz bin Jabal datang kepada kami pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu hatiku mencintainya. Maka aku tidak pernah meninggalkannya hingga aku memakamkannya di Syam. Kemudian, aku tidak pernah meninggalkan seorang yang paling faqih sesudahnya, yaitu Abdullah bin Mas’ud. Pada suatu hari diceritakan kepada beliau tentang penundaan shalat dari waktunya (yang dilakukan oleh para penguasa). Maka beliau berkata: “Shalatlah kalian di rumah kalian dan jadikan shalat kalian bersama mereka sebagai shalat sunnah.” Amr bin Maimun berkata: “Lalu Abdullah bin Mas’ud ditanya: “Bagaimana dengan shalat berjamaah kami?” Ia berkata kepadaku: “Wahai Amr bin Maimun, sesungguhnya mayoritas jamaah yang meninggalkan jamaah. Jamaah itu hanyalah sesuatu yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah meskipun kamu seorang diri.”
Atsar ini diriwayatkan oleh al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (juz 1 hlm 138 [220]), al-Lalaka’iy dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (juz 1 hlm 82 [160]) dan al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal (juz 22 hlm 264).
Tolong Anda perhatikan beberapa catatan menyangkut atsar di atas:
*Pertama,* atsar tersebut sanadnya dha’if. Dalam sanad al-Lalaka’iy terdapat perawi Hammad bin Nu’aim al-Khuza’iy, seorang perawi jujur tetapi banyak melakukan kekeliruan. Sedangkan dalam sanad al-Thabarani terdapat perawi yang majhul (tidak diketahui kredibiltasnya) dan perawi Ibnu Tsauban yang mengandung kelemahan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh ustadz Wahabi yang melakukan takhrij atsar tersebut dalam terbitan Mesir.
*Kedua,* seandainya atsar tersebut shahih atau hasan, atsar tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran terhadap kelompok Anda (Wahabi-Salafi) yang minoritas karena beberapa alasan:
a) Atsar tersebut konteksnya masalah furu’iyah amaliyah yang berkaitan dengan shalat berjamaah, bukan masalah akidah. Sebagaimana dimaklumi dalam kitab-kitab akidah, perbedaan aliran-aliran dalam Islam itu konteksnya masalah ushuliyah, bukan masalah furu’iyah.
b) Jika diamati dengan teliti, makna jamaah dalam atsar tersebut mengarah pada pahala shalat berjamaah di awal waktu. Dalam atsar tersebut dijelaskan bahwa para penguasa yang merupakan imam shalat berjamaah pada masa-masa itu selalu mengakhirkan shalat dari awal waktu, dan hal itu kemudian diikuti oleh jamaahnya. Oleh karena itu, Sayyidina Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu menjelaskan, bahwa orang yang mengerjakan shalat di awal waktu di rumahnya tidak dianggap keluar meninggalkan pahala berjamaah, bahkan sesuai dengan jamaah atau mendapatkan pahala shalat berjamaah. Mengapa? Mengerjakan shalat di awal waktu itu hukumnya sunnah dan sangat dianjurkan, sedangkan shalat berjamaah itu hukumnya sunnah. Mengakhirkan shalat sampai ke akhir waktu hukumnya tidak boleh. Sedangkan orang tersebut tidak mengerjakan shalat berjamaah pada awal waktu, karena ada alasan yang dapat diterima (uzur syar’iy).
c) Sekarang kami mengalah kepada Anda kaum Wahabi, bahwa makna jamaah dalam atsar tersebut adalah Ahlussunnah Wal-Jamaah. Tetapi di sini yang perlu menjadi catatan, dalam atsar di atas orang tersebut dianggap mengikuti Ahlussunnah Wal-Jamaah, karena apa yang dia pegang sesuai dengan kebenaran yang dilakukan oleh umat Islam sebelumnya. Pertanyaannya adalah, apakah pendapat-pendapat Wahabi yang berbeda dengan mayoritas umat Islam sudah sesuai dengan kebenaran umat Islam sebelumnya? Atau justru pendapat baru tetapi dipaksakan sebagai kebenaran meskipun berbeda dengan mayoritas umat Islam sebelumnya? Pertanyaan ini menjadi PR bagi kaum Anda Wahabi yang tidak akan terjawab.
*WAHABI:* Pokoknya walaupun kami minoritas, kami tetap Ahlussunnah Wal-Jamaah, sesuai dengan atsar Ibnu Mas’ud di atas.
*SUNNI:* Tidak ada dalil atau argumen yang bernama “pokoknya”. Atsar tersebut harus diartikan tidak keluar dari jamaah dalam arti pahala shalat berjamaah, sesuai dengan hadits marfu’ yang menjadi asal atsar tersebut.
عن عَمرو بن ميمون الأوْديِّ قال: قَدِمَ علينا مُعاذُ بنُ جَبَلِ اليَمَنَ رسولَ رسولِ الله - صلى الله عليه وسلم - علينا، قال: فسَمِعتُ تكبيرَه مع الفَجرِ، رجل أجشُّ الصَّوتِ، قال: فألقَيتُ مَحبَّتي عليه فما فارَقتُه حتَّى دَفَنتُه بالشَّامِ مَيتاً، ثمَّ نَظَرتُ إلى أفقَهِ النَّاسِ بعدَه، فأتيتُ ابنَ مسعودِ فلَزِمتُه حتَّى ماتَ، فقال: قال لي رسولُ الله - صلى الله عليه وسلم -: "كيفَ بكم إذا أَتَت عليكم أُمراءُ يُصَلُّونَ الصَّلاةَ لغيرِ مِيقاتِها؟ " قلتُ: فما تأمُرُني إن أدرَكَني ذلك يا رسولَ الله؟ قال: "صَلِّ الصلاةَ لِميقاتِها، واجعَل صلاتَكَ معهم سُبحةً".
Amr bin Maimun al-Audi berkata: “Mu’adz bin Jabal datang kepada kami di Yaman sebagai utusan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami. Aku mendengarkan bacaan takbirnya dalam shalat Fajar, ia seorang laki-laki yang suaranya serak. Sehingga aku mencintainya. Aku tidak pernah meninggalkannya hingga ia kami makamkan di Syam ketika meninggal dunia. Kemudian aku melihat orang yang paling faqih sesudahnya. Lalu aku mendatangi Ibnu Mas’ud. Aku menyertainya hingga ia meninggal dunia. Ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku: “Bagaimana sikap kalian, apabila datang kepada kalian para pemimpin yang menunaikan shalat pada selain waktunya?” Aku berkata: “Apa yang engkau perintahkan kepada jika hal itu menjumpaiku wahai Rasulullah?” Baginda bersabda: “Kerjakanlah shalat tepat pada waktunya. Dan jadikanlah shalatmu bersama mereka sebagai shalat sunnah saja.” (HR Abu Dawud, [423] dengan sanad yang shahih).
Coba Anda perhatikan dalam hadits marfu’ di atas. Ada beberapa pelajaran dari hadits tersebut:
*Pertama,* ketika para penguasa yang sekaligus para imam shalat pada masa kaum salaf dahulu, selalu mengakhirkan shalat dari waktunya, maka umat Islam diperintahkan shalat sendirian di rumah tepat pada waktunya. Tidak melakukan demo dengan shalat duluan atau membentuk jamaah shalat duluan di Masjid. Hal ini tentu untuk menjaga kebersamaan umat Islam dengan sesama dan dengan pemimpinnya.
*Kedua,* meskipun kaum Muslimin telah menunaikan shalat sendirian di rumah masing-masing, mereka masih diperintahkan menunaikan shalat berjamaah bersama penguasa atau imam mereka di Masjid. Hanya saja shalat tersebut status hukumnya menjadi shalat sunnah, bukan shalat wajib. Karena kewajibannya telah gugur dengan shalat sendirian di rumah. Sudah barang tentu, orang yang menunaikan shalat sendirian di rumah, tidak hanya satu orang saja. Mereka banyak orang. Karena hadits tersebut disebarkan oleh Ibnu Mas’ud kepada murid-muridnya. Wallahu a’lam.
*WAHABI:* Saya belum mantap dengan argumen Anda.
*SUNNI:* Abdullah bin Mas’ud bukanlah orang yang suka mengucilkan dirinya dari umat Islam, atau suka berbeda dengan arus mayoritas seperti halnya kaum Anda Wahabi-Salafi.
*WAHABI:* Ada buktinya?
*SUNNI:* Jelas ada. Coba Anda perhatikan atsar yang shahih berikut ini:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ صَلَّى عُثْمَانُ بِمِنًى أَرْبَعًا فَقَالَ عَبْدُ اللهِ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ أَبِى بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا. قَالَ الأَعْمَشُ فَحَدَّثَنِى مُعَاوِيَةُ بْنُ قُرَّةَ عَنْ أَشْيَاخِهِ أَنَّ عَبْدَ اللهِ صَلَّى أَرْبَعًا قَالَ فَقِيلَ لَهُ عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ صَلَّيْتَ أَرْبَعًا قَالَ الْخِلاَفُ شَرٌّ. رواه أبو داود والبيهقي بإسناد صحيح
Dari Abdurrahman bin Yazid, berkata: “Utsman menunaikan shalat di Mina empat raka’at.” Lalu Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dua raka’at. Bersama Abu Bakar dua raka’at. Bersama Umar dua raka’at. Bersama Utsman pada awal pemerintahannya dua raka’at. Kemudian Utsman menyempurnakannya (empat raka’at). Ternyata kemudian Abdullah bin Mas’ud shalat empat raka’at. Lalu beliau ditanya: “Anda dulu mencela Utsman karena shalat empat raka’at, sekarang Anda justru shalat empat raka’at juga.” Ia menjawab: “Berselisih dengan jama’ah itu tidak baik.” (HR. Abu Dawud [1960] dan al-Baihaqi [5434] dengan sanad yang shahih).
Kalau Anda masih kurang mantap, coba ingat dengan baik atsar berikut ini:
قال عبد الله بن مسعود : مَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّءٌ. رواه أحمد وأبو يعلى والحاكم
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Tradisi yang dianggap baik oleh umat Islam, adalah baik pula menurut Allah. Tradisi yang dianggap jelek oleh umat Islam, maka jelek pula menurut Allah.” (HR. Ahmad [3600], Abu Ya’la dan al-Hakim [4465] dengan sanad yang shahih atau hasan).”
Kalau Anda belum mantap, kami hanya bisa mendoakan saja, semoga Allah memberikan hidayah kepada Anda, amin.
*WAHABI:* Kami masih akan berpikir atau berkonsultasi dengan syaikh-syaikh kami.
*SUNNI:* Kami menunggu hasil pikiran Anda dan jawaban syaikh Anda. Tapi Anda harus ingat, kelompok minoritas bukan hanya Anda. Semua aliran di luar Asy’ariyah-Maturidiyah adalah minoritas. Kalau Anda bersikeras menjadikan minoritas sebagai ukuran kebenaran, berarti Anda Wahabi harus mengakui kebenaran Syiah, Ibadhiyah, ahmadiyah dan aliran-aliran minoritas lainnya. Dan Anda pasti menolak hal tersebut. Wassalam
0 komentar:
Posting Komentar