Jumat, 13 Maret 2020

Wahabi Mengaku Ahlu sunnah.

*DIALOG SUNNI VS WAHABI*

*KELOMPOK MINORITAS SEBAGAI AHLUSSUNNAH WAL-JAMAAH???*

*JAWABAN TERHADAP WAHABI AN NAJDY*

*WAHABI:* Meskipun kami minoritas, kami tetap Ahlussunnah Wal-Jamaah.

*SUNNI:* Dalam banyak hadits shahih, Ahlussunnah Wal-Jamaah harus berupa golongan mayoritas, bukan minoritas. Antara lain hadits:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه يَقُولُ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: إِنَّ أُمَّتِيْ لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ اِخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. (حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ بِطُرُقِهِ).

“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, berkata: "Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas."

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Majah (3950), Abd bin Humaid dalam al-Musnad (1220), al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (2069), al-Lalaka'i dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahl al-Sunnah (153) dan Abu Nu'aim dalam Hilyat al-Auliya' (9/238). Al-Hafizh al-Suyuthi menilai hadits ini shahih dalam al-Jami' al-Shaghir (1/88). Demikian pula Syaikh Syu'aib al-Arna'uth juga menilai hadits tersebut kuat dan dapat dijadikan hujjah berdasarkan syawahid-nya dalam tahqiq Siyar A'lam al-Nubala' (12/196-197).

*WAHABI:* Abdullah bin Mas’ud berkata, walaupun minoritas atau bahkan seorang diri, kalau sesuai dengan kebenaran, masih Ahlussunnah Wal-Jamaah.

*SUNNI:* Anda kami sodorkan hadits shahih, tetapi malah mempertentangkannya dengan atsar Ibnu Mas’ud. Sekarang Anda kami ajak meneliti maksud atsar Ibnu Mas’ud tersebut, apakah sesuai dengan maksud Anda atau tidak sesuai?

*WAHABI:* Bagaimana menurut Anda?

*SUNNI:* Atsar tersebut redaksinya begini:

عن عمرو بن ميمون ، قال : قدم علينا معاذ بن جبل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فوقع حبه في قلبي ، فلزمته حتى واريته في التراب بالشام ، ثم لزمت أفقه الناس بعده عبد الله بن مسعود ، فذكر يوما عنده تأخير الصلاة عن وقتها ، فقال : « صلوها في بيوتكم ، واجعلوا صلاتكم معهم سبحة » . قال عمرو بن ميمون : « فقيل لعبد الله بن مسعود : » وكيف لنا بالجماعة ؟ « فقال لي : » يا عمرو بن ميمون ، إن جمهور الجماعة هي التي تفارق الجماعة ، إنما الجماعة ما وافق طاعة الله وإن كنت وحدك

Amr bin Maimun berkata: “Mu’adz bin Jabal datang kepada kami pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu hatiku mencintainya. Maka aku tidak pernah meninggalkannya hingga aku memakamkannya di Syam. Kemudian, aku tidak pernah meninggalkan seorang yang paling faqih sesudahnya, yaitu Abdullah bin Mas’ud. Pada suatu hari diceritakan kepada beliau tentang penundaan shalat dari waktunya (yang dilakukan oleh para penguasa). Maka beliau berkata: “Shalatlah kalian di rumah kalian dan jadikan shalat kalian bersama mereka sebagai shalat sunnah.” Amr bin Maimun berkata: “Lalu Abdullah bin Mas’ud ditanya: “Bagaimana dengan shalat berjamaah kami?” Ia berkata kepadaku: “Wahai Amr bin Maimun, sesungguhnya mayoritas jamaah yang meninggalkan jamaah. Jamaah itu hanyalah sesuatu yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah meskipun kamu seorang diri.”

Atsar ini diriwayatkan oleh al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (juz 1 hlm 138 [220]), al-Lalaka’iy dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (juz 1 hlm 82 [160]) dan al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal (juz 22 hlm 264).

Tolong Anda perhatikan beberapa catatan menyangkut atsar di atas:

*Pertama,* atsar tersebut sanadnya dha’if. Dalam sanad al-Lalaka’iy terdapat perawi Hammad bin Nu’aim al-Khuza’iy, seorang perawi jujur tetapi banyak melakukan kekeliruan. Sedangkan dalam sanad al-Thabarani terdapat perawi yang majhul (tidak diketahui kredibiltasnya) dan perawi Ibnu Tsauban yang mengandung kelemahan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh ustadz Wahabi yang melakukan takhrij atsar tersebut dalam terbitan Mesir.

*Kedua,* seandainya atsar tersebut shahih atau hasan, atsar tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran terhadap kelompok Anda (Wahabi-Salafi) yang minoritas karena beberapa alasan:

a) Atsar tersebut konteksnya masalah furu’iyah amaliyah yang berkaitan dengan shalat berjamaah, bukan masalah akidah. Sebagaimana dimaklumi dalam kitab-kitab akidah, perbedaan aliran-aliran dalam Islam itu konteksnya masalah ushuliyah, bukan masalah furu’iyah.

b) Jika diamati dengan teliti, makna jamaah dalam atsar tersebut mengarah pada pahala shalat berjamaah di awal waktu. Dalam atsar tersebut dijelaskan bahwa para penguasa yang merupakan imam shalat berjamaah pada masa-masa itu selalu mengakhirkan shalat dari awal waktu, dan hal itu kemudian diikuti oleh jamaahnya. Oleh karena itu, Sayyidina Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu menjelaskan, bahwa orang yang mengerjakan shalat di awal waktu di rumahnya tidak dianggap keluar meninggalkan pahala berjamaah, bahkan sesuai dengan jamaah atau mendapatkan pahala shalat berjamaah. Mengapa? Mengerjakan shalat di awal waktu itu hukumnya sunnah dan sangat dianjurkan, sedangkan shalat berjamaah itu hukumnya sunnah. Mengakhirkan shalat sampai ke akhir waktu hukumnya tidak boleh. Sedangkan orang tersebut tidak mengerjakan shalat berjamaah pada awal waktu, karena ada alasan yang dapat diterima (uzur syar’iy). 

c) Sekarang kami mengalah kepada Anda kaum Wahabi, bahwa makna jamaah dalam atsar tersebut adalah Ahlussunnah Wal-Jamaah. Tetapi di sini yang perlu menjadi catatan, dalam  atsar di atas orang tersebut dianggap mengikuti Ahlussunnah Wal-Jamaah, karena apa yang dia pegang sesuai dengan kebenaran yang dilakukan oleh umat Islam sebelumnya. Pertanyaannya adalah, apakah pendapat-pendapat Wahabi yang berbeda dengan mayoritas umat Islam sudah sesuai dengan kebenaran umat Islam sebelumnya? Atau justru pendapat baru tetapi dipaksakan sebagai kebenaran meskipun berbeda dengan mayoritas umat Islam sebelumnya? Pertanyaan ini menjadi PR bagi kaum Anda Wahabi yang tidak akan terjawab.

*WAHABI:* Pokoknya walaupun kami minoritas, kami tetap Ahlussunnah Wal-Jamaah, sesuai dengan atsar Ibnu Mas’ud di atas.

*SUNNI:* Tidak ada dalil atau argumen yang bernama “pokoknya”. Atsar tersebut harus diartikan tidak keluar dari jamaah dalam arti pahala shalat berjamaah, sesuai dengan hadits marfu’ yang menjadi asal atsar tersebut.

عن عَمرو بن ميمون الأوْديِّ قال: قَدِمَ علينا مُعاذُ بنُ جَبَلِ اليَمَنَ رسولَ رسولِ الله - صلى الله عليه وسلم - علينا، قال: فسَمِعتُ تكبيرَه مع الفَجرِ، رجل أجشُّ الصَّوتِ، قال: فألقَيتُ مَحبَّتي عليه فما فارَقتُه حتَّى دَفَنتُه بالشَّامِ مَيتاً، ثمَّ نَظَرتُ إلى أفقَهِ النَّاسِ بعدَه، فأتيتُ ابنَ مسعودِ فلَزِمتُه حتَّى ماتَ، فقال: قال لي رسولُ الله - صلى الله عليه وسلم -: "كيفَ بكم إذا أَتَت عليكم أُمراءُ يُصَلُّونَ الصَّلاةَ لغيرِ مِيقاتِها؟ " قلتُ: فما تأمُرُني إن أدرَكَني ذلك يا رسولَ الله؟ قال: "صَلِّ الصلاةَ لِميقاتِها، واجعَل صلاتَكَ معهم سُبحةً".

Amr bin Maimun al-Audi berkata: “Mu’adz bin Jabal datang kepada kami di Yaman sebagai utusan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami. Aku mendengarkan bacaan takbirnya dalam shalat Fajar, ia seorang laki-laki yang suaranya serak. Sehingga aku mencintainya. Aku tidak pernah meninggalkannya hingga ia kami makamkan di Syam ketika meninggal dunia. Kemudian aku melihat orang yang paling faqih sesudahnya. Lalu aku mendatangi Ibnu Mas’ud. Aku menyertainya hingga ia meninggal dunia. Ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku: “Bagaimana sikap kalian, apabila datang kepada  kalian para pemimpin yang menunaikan shalat pada selain waktunya?” Aku berkata: “Apa yang engkau perintahkan kepada jika hal itu menjumpaiku wahai Rasulullah?” Baginda bersabda: “Kerjakanlah shalat tepat pada waktunya. Dan jadikanlah shalatmu bersama mereka sebagai shalat sunnah saja.” (HR Abu Dawud, [423] dengan sanad yang shahih).

Coba Anda perhatikan dalam hadits marfu’ di atas. Ada beberapa pelajaran dari hadits tersebut:

*Pertama,* ketika para penguasa yang sekaligus para imam shalat pada masa kaum salaf dahulu, selalu mengakhirkan shalat dari waktunya, maka umat Islam diperintahkan shalat sendirian di rumah tepat pada waktunya. Tidak melakukan demo dengan shalat duluan atau membentuk jamaah shalat duluan di Masjid. Hal ini tentu untuk menjaga kebersamaan umat Islam dengan sesama dan dengan pemimpinnya. 

*Kedua,* meskipun kaum Muslimin telah menunaikan shalat sendirian di rumah masing-masing, mereka masih diperintahkan menunaikan shalat berjamaah bersama penguasa atau imam mereka di Masjid. Hanya saja shalat tersebut status hukumnya menjadi shalat sunnah, bukan shalat wajib. Karena kewajibannya telah gugur dengan shalat sendirian di rumah. Sudah barang tentu, orang yang menunaikan shalat sendirian di rumah, tidak hanya satu orang saja. Mereka banyak orang. Karena hadits tersebut disebarkan oleh Ibnu Mas’ud kepada murid-muridnya. Wallahu a’lam.

*WAHABI:* Saya belum mantap dengan argumen Anda.

*SUNNI:* Abdullah bin Mas’ud bukanlah orang yang suka mengucilkan dirinya dari umat Islam, atau suka berbeda dengan arus mayoritas seperti halnya kaum Anda Wahabi-Salafi.

*WAHABI:* Ada buktinya?

*SUNNI:* Jelas ada. Coba Anda perhatikan atsar yang shahih berikut ini:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ صَلَّى عُثْمَانُ بِمِنًى أَرْبَعًا فَقَالَ عَبْدُ اللهِ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ أَبِى بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا. قَالَ الأَعْمَشُ فَحَدَّثَنِى مُعَاوِيَةُ بْنُ قُرَّةَ عَنْ أَشْيَاخِهِ أَنَّ عَبْدَ اللهِ صَلَّى أَرْبَعًا قَالَ فَقِيلَ لَهُ عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ صَلَّيْتَ أَرْبَعًا قَالَ الْخِلاَفُ شَرٌّ. رواه أبو داود والبيهقي بإسناد صحيح

Dari Abdurrahman bin Yazid, berkata: “Utsman menunaikan shalat di Mina empat raka’at.” Lalu Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dua raka’at. Bersama Abu Bakar dua raka’at. Bersama Umar dua raka’at. Bersama Utsman pada awal pemerintahannya dua raka’at. Kemudian Utsman menyempurnakannya (empat raka’at). Ternyata kemudian Abdullah bin Mas’ud shalat empat raka’at. Lalu beliau ditanya: “Anda dulu mencela Utsman karena shalat empat raka’at, sekarang Anda justru shalat empat raka’at juga.” Ia menjawab: “Berselisih dengan jama’ah itu tidak baik.” (HR. Abu Dawud [1960] dan al-Baihaqi [5434] dengan sanad yang shahih).
Kalau Anda masih kurang mantap, coba ingat dengan baik atsar berikut ini:

قال عبد الله بن مسعود  : مَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّءٌ. رواه أحمد وأبو يعلى والحاكم 

Abdullah bin Mas’ud  berkata:  “Tradisi yang dianggap baik oleh umat Islam, adalah baik pula menurut Allah. Tradisi yang dianggap jelek oleh umat Islam, maka jelek pula menurut Allah.” (HR. Ahmad [3600], Abu Ya’la dan al-Hakim [4465] dengan sanad yang shahih atau hasan).”

Kalau Anda belum mantap, kami hanya bisa mendoakan saja, semoga Allah memberikan hidayah kepada Anda, amin.

*WAHABI:* Kami masih akan berpikir atau berkonsultasi dengan syaikh-syaikh kami.

*SUNNI:* Kami menunggu hasil pikiran Anda dan jawaban syaikh Anda.  Tapi Anda harus ingat, kelompok minoritas bukan hanya Anda. Semua aliran di luar Asy’ariyah-Maturidiyah adalah minoritas. Kalau Anda bersikeras menjadikan minoritas  sebagai ukuran kebenaran, berarti Anda Wahabi harus mengakui kebenaran Syiah, Ibadhiyah, ahmadiyah  dan aliran-aliran minoritas lainnya. Dan Anda pasti menolak hal tersebut. Wassalam

Kamis, 12 Maret 2020

kegiatan ANSOR tamsel

persamaan SYIAH dengan wahabi

PERSAMAAN SYIAH DAN WAHHABI

Kelompok Wahabi seringkali sering menuduh Ahlisunnah wal Jamaah memiliki kesamaan dengan Syiah, baik yang mengamalkan tarekat sufi maupun lainnya. Tuduhan tersebut hanya berdasarkan atas kebencian Wahabi terhadap Ahlisunnah, agar ketika mereka disamakan dengan Syiah, maka Sunni menolak dan mengikuti aliran Wahabi. Namun justeru Wahabi sendirilah yang memiliki banyak persamaan dengan Syiah. Fakta-fakta tersebut akan kami hurai dalam artikel.

MENGKAFIRKAN SAHABAT

Dalam hadis-hadis sahih ditegaskan bahwa masa sahabat adalah kurun waktu terbaik karena mereka hidup bersama Rasulullah Saw. Namun berbeza bagi Syiah, menurut mereka para sahabat ada yang telah kafir. Bagi Wahabi pula, manhaj ilmu mereka boleh hingga menyebabkan kafirnya sahabat kerana melakukan tawassul di makam Rasulullah Saw !! Maksud dalam gambar dibawah adalah manhaj Ibn Baz menyebabkan sahabat menjadi kafir. Jadi wujud persamaan yang agak serasi manhaj ilmu Syiah dan Wahabi hingga boleh menyebabkan kekafiran Sahabat.

Kesahihan Atsar Istisqa Di Makam Rasulullah Saw

Selain al-Hafidz Ibnu Hajar yang menilai sahih, al-Hafidz Ibnu Katsir juga menilai sahih atsar di bawah ini:

البداية والنهاية لابن كثير – (ج 7 / ص 105)
وقال الحافظ أبو بكر البيهقي: أخبرنا أبو نصر بن قتادة وأبو بكر الفارسي قالا: حدثنا أبو عمر بن مطر، حدثنا إبراهيم بن علي الذهلي، حدثنا يحيى بن يحيى، حدثنا أبو معاوية، عن الاعمش، عن أبي صالح عن مالك قال: أصاب الناس قحط في زمن عمر بن الخطاب فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله استسق الله لامتك فإنهم قد هلكوا. فأتاه رسول الله صلى الله عليه وسلم في المنام فقال: إيت عمر فأقره مني السلام واخبرهم أنهم مسقون، وقل له عليك بالكيس الكيس. فأتى الرجل فأخبر عمر فقال: يا رب ما آلوا إلا ما عجزت عنه.
وهذا إسناد صحيح.

al-Hafidz adz-Dzahabi juga mengutip riwayat tersebut dan beliau mendiamkannya tanpa komentar tentang kedlaifannya:
تاريخ الإسلام للذهبي – (ج 1 / ص 412)
وقال الأعمش، عن أبي صالح، عن مالك الدار قال: أصاب الناس قحط في زمان عمر، فجاء رجل إلى قبر رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يل رسول الله استسق الله لأمتك فإنهم قد هلكوا. فأتاه رسول الله صلى الله عليه وسلم في المنام وقال: ائت عمر فأقرئه مني السلام وأخبره أنهم مسقون وقل له: عليك الكيس الكيس، فأتى الرجل فأخبر عمر فبكى وقال: يا رب ما آلو ما عجزت عنه.

Berk dengan keraguan Syaikh Bin Baz bahwa ‘Rajul’ tersebut adalah sahabat, maka cukup dibantah dengan ketegasan pernyataan al-Hafidz Ibnu Hajar aitanbahwa ‘Rajul’ tersebut BENAR-BENAR Bilal bin Harits:

فتح الباري لابن حجر – (ج 3 / ص 441)
وَقَدْ رَوَى سَيْف فِي الْفُتُوح أَنَّ الَّذِي رَأَى الْمَنَام الْمَذْكُور هُوَ بِلَال بْن الْحَارِث الْمُزَنِيُّ أَحَد الصَّحَابَة

“Saif BENAR-BENAR meriwayatkan dalam al-Futuh bahwa laki-laki yang melihat mimpi tersebut adalah Bilal bin Harits al-Muzani, salah satu sahabat Nabi” (Fath al-Bari 3/441)

Jadi al-Hafidz Ibnu Hajar mengutipnya dengan Shighat Jazm (tegas) yang menunjukkan bahwa riwayat tersebut adalah sahih. Kecuali seandainya al-Hafidz Ibnu hajar mengutip dengan redaksi lemah (Shighat Tamridl) seperti “Dikatakan”, “Diriwayatkan” dan lainnya.

Lebih layak mana antara al-Hafidz Ibnu Hajar yang menilai sahih dan Syaikh Bin Baz, Syaikh Albani dan ulama Wahabi lainnya yang menilai dlaif untuk kita terima?

Tidak cukupkah bagi pengikut Wahabi bahwa kalimat Syaikh Bin Baz yang berbunyi:

وأن ما فعله هذا الرجل منكر ووسيلة إلى الشرك

Menunjukkan bahwa apa yang dilakukan sahabat tersebut mengarah (wasilah) pada syirik? Sementara wasilah memiliki hukum yang sama dengan tujuannya….

للوسائل حكم المقاصد

KEPENTINGAN YAHUDI

Syiah secara diam-diam menjalin hubungan yang erat dengan Yahudi. Demikian halnya ulama-ulama Wahabi memberi fatwa-fatwa yang menguntungkan Yahudi. Diantaranya adalah fatwa Syaikh Albani:
ان على الفلسطينيين ان يغادروا بلادهم ويخرجوا الاى بلاد اخرى وان كل من بقي في فلسطين منهم كافر (فتاوى الالباني جمع عكاشة عبد المنان ص 18)

“Warga Muslim Palestin harus meninggalkan negerinya ke Negara lain. Semua orang yang masih bertahan di Palestina adalah kafir” (Fatawa al-Albani yang dihimpun oleh Ukasyah Abdul Mannan, Hal. 18)

Fatwa Kontroversi ini membuat reaksi keras dari berbagai kalangan di Timur Tengah. Sebahagian pakar menganggap bahwa logik yang dipakai oleh Albani, ulama Wahabi, adalah logik Yahudi, bukan logik Islam, karena fatwa Wahabi ini menguntungkan Yahudi yang bercita-cita menguasai negeri Palestina.

Begitu pula Syaikh Bin Baz, ulama Wahabi. Tahun 1994 ia keluarkan fatwa yang membolehkan kaum Muslimin melakukan perdamaian kekal, tanpa batas dan tanpa syarat dengan Yahudi. Fatwa ini mendapat dukungan dari orang Yahudi, sehingga Simon Perez, Menlu Israil meminta Negara-negara Arab dan kaum Muslimin agar mengikuti fatwa Bin Baz untuk mengadakan hubungan bilateral dengan Israil. Fatwa ini dimuat di berbagai media massa Timur Tengah seperti surat kabar harian Nida’ al-Wathan Lebanon edisi 644, surat kabar al-Diyar Lebanon edisi 2276, surat khabar al-Muslimun Saudi Arabia dan harian Telegraph Australia.

MENGKAFIRKAN UMAT ISLAM

Umat Islam Ahlusunnah wal Jamaah adalah umat Muslim majoriti di Dunia setelah Rasulullah Saw wafat. Namun bagi kelompok Syiah dan Wahabi, Ahlisunnah adalah kafir dan musyrik

Begitu pula pengikut Wahabi menghukumi kafir dan musyrik pada umat Islam serta menghalalkan darah dan hartanya. Diambil dari kitab فضائح الوهابية Syaikh Fathi Al-Mishri Al-Azhari berkata::

قال مفتي الحنابلة الشيخ محمد بن عبد الله بن حميد النجدي المتوفى سنة 1225 هـ في كتابه “السحب الوابلة على ضرائح الحنابلة” ص 276 عن محمد بن عبد الوهاب :”فإنّه كان إذا باينه أحد وردَّ عليه ولم يقدر على قتله مجاهرةً يرسل إليه من يغتاله في فراشه أو في السوق ليلاً لقوله بتكفير من خالفه واستحلاله قتله” انتهى.

وقال مفتي الشافعية ورئيس المدرسين في مكة أيام السلطان عبد الحميد الشيخ أحمد زيني دحلان في كتابه “الدرر السنية في الرد على الوهابية” صحيفة 46 :”وكان محمد بن عبد الوهاب يقول:”إني أدعوكم إلى التوحيد وترك الشرك بالله وجميع ما هو تحت السبع الطباق مشرك على الإطلاق ومن قتل مشركًا فله الجنة” انتهى.

وكان محمد بن عبد الوهاب وجماعته يحكمون على الناس (أي المسلمين) بالكفر واستباحوا دماءهم وأموالهم وانتهكوا حرمة النبيّ بارتكابهم أنواع التحقير له وكانوا يصرحون بتكفير الأمة منذ ستمائة سنة وأول من صرَّح بذلك محمد بن عبد الوهاب وكان يقول إني أتيتكم بدين جديد. وكان يعتقد أن الإسلام منحصرٌ فيه وفيمن تبعه وأن الناس سواهم كلهم مشركون (انظر “الدرر السنية” ص 42 وما بعدها).
وذكر المفتي أحمد بن زيني دحلان أيضًا في كتابه “أمراء البلد الحرام” ص 297ـ298 أن الوهابية لما دخلوا الطائف قتلوا الناس قتلاً عامًّا واستوعبوا الكبير والصغير والمأمور والأمير والشريف والوضيع وصاروا يذبحون على صدر الأم الطفل الرضيع ويقتلون الناس في البيوت والحوانيت ووجدوا جماعة يتدارسون القرءان فقتلوهم عن ءاخرهم ثم خرجوا إلى المساجد يقتلون الرجل في المسجد وهو راكع أو ساجد ونهبوا النقود والأموال وصاروا يدوسون بأقدامهم المصاحف ونسخ البخاري ومسلم وبقية كتب الحديث والفقه والنحو بعد أن نشروها في الأزقة والبطائح وأخذوا أموال المسلمين واقتسموها كما تقسم غنائم الكفار.

وقال أحمد بن زيني دحلان في “الدرر السنية” صحيفة 57 :”قال السيّد الشيخ علوي ابن أحمد بن حسن الحداد باعلوي في كتابه “جلاء الظلام في الرد على النجدي الذي أضلّ العوام”: والحاصل أن المحقق عندنا من أقواله وأفعاله (أي محمد بن عبد الوهاب) ما يوجب خروجه عن القواعد الإسلامية باستحلاله أمورًا مجمعًا على تحريمها معلومة من الدين بالضرورة مع تنقيصه الأنبياء والمرسلين والأولياء والصالحين، وتنقيصهم كفرٌ بإجماع الأئمة الأربعة” انتهى من كلام أحمد بن زيني دحلان.

فبان واتضح أن محمد بن عبد الوهاب هو وأتباعه جاؤوا بدين جديد ليس هو الإسلام، وكان يقول من دخل في دعوتنا فله ما لنا وعليه ما علينا ومن لم يدخل معنا فهو كافر حلال الدم والمال.

“Seorang mufti madzhab Hanbali Syaikh Muhammaad bin Abdullah bin Humaid an-Najdi (w.1225 H) dalam kitabnya al-Suhubu al-Wabilah ‘ala Dhara-ih al-Hanabilah berkata tentang Muhammad bin Abdul Wahhab: “Sesungguhnya dia (Muhammad bin Abdul Wahhab) apabila berselisih dengan seseorang dan tidak dapat membunuhnya terang-terangan maka ia mengutus seseorang untuk membunuhnya ketika dia tidur atau ketika ia berada di pasar pada malam hari. Ini semua dia lakukan karena ia mengkafirkan orang yang menentangnya dan halal untuk dibunuh.” (Muhammad al-Najdi, al-Suhubu al-Wabilah ‘ala Dhara-ih al-Hanabilah, Maktabah al-Imam Ahmad, hal. 276).

Mufti madzhab Syafi’i dan ketua dewan pengajar di Makkah pada masa Sultan Abdul Hamid Syekh Ahmad Zaini Dahlan mengatakan baahwa Muhammad ibn Abdul Wahhab pernah mengatakan:

“Sesungguhnya aku mengajak kalian pada tauhid dan meninggalkan syirik pada Allah, semua orang yang berada dibawah langit yang tujuh seluruhnya musyrik secara mutlak sedangkan orang yang membunuh seorang musyrik maka ia akan mendapatkan surga”. (Ahmad Zaini Dahlan, al-Duraru al-Sunniyah fi al-Raddi ’ala al-Wahhabiyah, Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, hal 46). 

Itulah pernyataan Muhammad ibn Abdul Wahhab dan kelompoknya yang telah menghukumi umat Islam dengan kekufuran, menghalalkan darah dan harta mereka serta mencabik-cabik kemuliaan nabi dengan melakukan bermacam-macam bentuk penghinaan terhadapnya. Mereka juga terang-terangan mengkafirkan umat sejak 600 tahun, dan orang yang pertama kali terang-terangan dengan hal itu adalah Muhammad ibn Abdul Wahhab, ia mengatakan: “Aku telah datang kepada kalian dengan agama yang baru”. Ia meyakini bahwa Islam hanya ada pada dia dan orang-orang yang mengikutinya dan bahwa manusia selain mereka seluruhnya adalah musyrik.

Mufti Ahmad Zaini Dahlan juga menuturkan dalam kitabnya Umara-u al Balad al Haram bahwa orang-orang Wahabi ketika memasuki Thaif mereka melakukan pembantaian besar-bersan terhadap masyarakat dalam rumah-rumah mereka, mereka juga membantai orang-orang tua dan anak-anak, rakyat dan pejabat, orang mulia dan yang hina. Mereka menyembelih bayi yang sedang menyusu di depan ibunya. Mereka juga membunuh manusia di rumah-rumah dan di toko-toko dan ketika mereka menemukan sekelompok orang yang sedang belajar al-Qur’an, mereka membunuh semuanya. Kemudian mereka masuk ke mesjid-mesjid dan membunuh siapapun yang berada di dalam mesjid yang sedang ruku’ atau sujud dan merampas uang dan hartanya.

Kemudian mereka memijak-mijak mushaf, naskah kitab al Bukhari dan Muslim dan kitab-kitab hadits, fikih dan nahwu setelah mereka membuangnya di lorong-lorong jalan dan parit-parit serta mengambil harta umat Islam dan membahagikannya sesama mereka seperti membahagi harta rampasan (ghanimah) orang kafir. (Ahmad Zaini Dahlan, Umara al-Balad al-Haram, hal. 297-298.

Ahmad Zaini Dahlan mengatakan: “Sayyid Syekh Alawi ibn Ahmad ibn Hasan al Haddad Ba’alawi dalam kitabnya Jala-u al Dhalam fi al Raddi ‘ala al Najdi al Ladzi Adhalla al ‘Awam mengatakan: Kesimpulannya bagi orang yang mencermati perkataan dan perilaku Muhammad ibn Abdul Wahhab akan mengatakan bahwa ia (Muhammad ibn Abdul Wahhab) telah menyalahi kaedah-kaedah Islam kerana ia menghalalkan perkara-perkara yang disepakati akan keharamannya dan status haram tersebut telah diketahui dalam agama oleh semua umat baik yang alim ataupun yang bodoh sekalipun. Juga perlekehannya terhadap para nabi dan rasul, para wali dan orang-orang yang soleh. Pelecehan seperti ini adalah kekufuran dengan ijma’ para imam yang empat. Demikian pemaparan Ahmad Zaini Dahlan. (Lihat al-Durar al-Sunniyah fi al-Raddi ’ala al-Wahhabiyah hal. 57)

Dengan demikian menjadi jelas bahwa Muhammad ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya datang dengan membawa agama baru dan bukan membawa agama Islam. Dia pernah mengatakan: “Barang siapa yang masuk dalam dakwah kita maka baginya hak sebagaimana hak kita dan barang siapa yang tidak masuk dalam dakwah kita maka dia kafir halal darah dan hartanya.” (Muhammad bin Abdul Wahhab, Kasyfu al-Syubuhat, Saudi Arabia: Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, hal. 7).

MELARANG SOLAT KE ATAS JENAZAH SUNNI

Bagi golongan Syiah, mensolati janazah umat Islam Ahlisunnah adalah tidak wajib, bahkan tidak boleh, karena mereka tidak beriman kepada imam-imam Syiah yang 12.

Demikian halnya dengan fatwa-fatwa ulama Wahabi yang menuduh secara keji bahwa umat Islam yang berziarah ke makam Ulama sebagai “Penyembah Kubur” sehingga dihukumi musyrik seperti fatwa Syaikh Bin Baz:

مَنْ كَانَ يُصَلِّي وَيَصُوْمُ وَيَأْتِي بِأَرْكَانِ اْلإِسْلاَمِ إِلاَّ أَنَّهُ يَسْتَغِيْثُ بِاْلأَمْوَاتِ وَالْغَائِبِيْنَ وَبِالْمَلاَئِكَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَهُوَ مُشْرِكٌ، وَإِذَا نَصَحَ وَلَمْ يَقْبَلْ وَأَصَرَّ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى مَاتَ فَهُوَ مُشْرِكٌ شِرْكًا أَكْبَرَ يُخْرِجُهُ مِنْ مِلَّةِ اْلإِسْلاَمِ، فَلاَ يُغْسَلُ وَلاَ يُصَلَّى عَلَيْهِ صَلاَةَ الْجَنَازَةِ وَلاَ يُدْفَنُ فِي مَقَابِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ يُدْعَى لَهُ بِالْمَغْفِرَةِ وَلاَ يَرِثُهُ أَوْلاَدُهُ وَلاَ أَبَوَاهُ وَلاَ إِخْوَتُهُ الْمُوَحِّدُوْنَ وَلاَ نَحْوُهُمْ مِمَّنْ هُوَ مُسْلِمٌ لاِخْتِلاَفِهِمْ فِي الدِّيْنِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ، وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ » رَوَاهُ الْبُخَارِي وَمُسْلِمٌ (فتاوى اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء – ج 1 / ص 75)

“Barangsiapa yang solat, berpuasa dan menjalankan rukun-rukun Islam, hanya saja ia beristighatsah dengan orang mati, orang yang ghaib, malaikat dan lainnya, maka ia MUSYRIK. Jika ia diberi nasihat dan tidak menerima serta masih tetap melakukan hal itu hingga ia mati, maka ia MUSYRIK dengan syirik besar yang menyebabkan ia keluar dari Islam. Maka mayatnya tidak boleh dimandikan, tidak disolati, tidak dikubur di pemakaman umat Islam, tidak didoakan dengan ampunan, tidak boleh memberi waris dan tidak boleh menerima warisan, karena berbeza agama. Nabi bersabda: Seorang Muslim tidak boleh memberi warisan kepada orang kafir. Dan orang kafir tidak boleh memberi warisan kepada orang Muslim (HR Bukhari dan Muslim)” (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ 1/75)

Sumber : http://www.aswj-rg.com/2013/09/persamaan-syiah-dan-wahabi.html

Semoga Allah jauhkan kita semua  dari kejahatan Wahhabi dan Syiah dan memeliharai Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.