Selasa, 14 September 2021

NU dari masa ke masa

Mahakarya

Sejarah Muktamar NU dari Masa ke Masa

Sejarah Muktamar NU membuktikan bahwa acara ini dilirik orang banyak

Sejarah Muktamar NU membuktikan bahwa acara ini dilirik orang banyak (Antara)

 Sejarah muktamar NU penting diangkat kembali sebagai pengingat agar muktamar NU ke depannya lebih baik dan tidak ricuh. Muktamar NU adalah agenda yang ditunggu-tunggu oleh banyak kalangan, bukan hanya kaum nahdliyin.

Sejarah muktamar NU di mulai dari pertemuan para ulama pesantren pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 Hijriyah di Bubutan Surabaya yang menghasilkan sebuah keputusan yang penting, yakni berdirinya ormas keagamaan terbesar di Indonesia saat ini, yakni Nahdlatul Ulama.

Pertemuan yang diprakarsai oleh KH Abd Wahab Chasbullah dihadiri oleh ulama terkemuka dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, diantara ulama yang hadir yaitu: KH Asnawi (Kudus), KH Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH Nakhrawi (Malang), KH Darumuntaha (Bangkalan Madura), KH Abdul Aziz, dan Haji Nawai (Pasuruan), KH Hambali (Kudus), KH Ridwan (Semarang), KH Kholil (Lasem), KH Hamid bin Faqih.

Pada saat itu, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari berhalangan hadir. Karena begitu pentingnya posisi beliau di kalangan ulama pesantren, maka diutuslah dua orang peserta, yakni KH Asnawi (Kudus) dan KH Bisri (Denanyar Jombang) untuk menemui dan menjemput gurunya semasa menyantri di Pesantren Tebuireng.

Persoalan saat itu yang dibahas di antaranya, mengenai keinginan untuk menghadiri Kongres “Alam Islamy” yang akan diselenggarakan di Makkah.

Ketika itu, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari hadir di rapat mengusulkan untuk dibentuk sebuah organisasi para ulama. Para peserta rapat lantas menyetujui usulan guru besar ulama Jawa saat itu. Guru besar ulama ahli hadis ini, kemudian didapuk menjadi Rais Akbar.

Setidaknya ada dua keputusan yang dihasilkan pada saat itu, yaitu: pertama, mengirimkan utusan ulama Indonesia ke Kongres Islam dunia guna memperjuangkan kepada Raja Ibnu Saud supaya hukum-hukum mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mendapatkan perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasannya.

Kedua, membentuk wadah organisasi atau jam’iyah para ulama, yang kemudian dinamakan Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) yang hendak mengirimkan utusan. Atas rekomendasi yang diberikan kepada Raja Ibnu Saud menjadi angin segar bagi ormas yang didirikan ulama pesantren ini.

Karena apa yang menjadi sarannya dapat diterima dan menjadi awal keberhasilan kiprah NU di kancah Internasional.

Kepengurusan NU sendiri dibawah kendali Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari dengan dibantu oleh KH Dahlan (Surabaya) sebagai wakilnya. Sedangkan KH A Wahab Chasbullah sebagai Katib (sekertaris I).

Maka pengasuh Tebuireng pertama ini, kemudian menyusun anggaran dasar ‘Qanun Asasi’ tepatnya pada tanggal 6 Februari 1930.

Namun pada tanggal 31 Januari 1926 diperingati sebagai hari lahir Nahdlatul Ulama. Organisasi yang dihuni oleh para ulama pesantren ini dalam perjalannya mengalami pertumbuhan dan peningkatan yang signifkan.

Kondisi bangsa Indonesia yang saat itu dalam masa penjajahan maka sangat wajar, jika para ulama NU saat itu sangat keras terhadap penguasa kolonial. Bahkan, menjadi garda terdepan dalam perjuangan bangsa Indonesia dalam berjuang meraih kemerdekaan.

Sejarah muktamar ke-I tahun 1345 Hijriah dilaksanakan di Surabaya. Dengan agenda utama pembahasan seputar hukum menjalankan ibadah, pakaian wanita pria, kesenian dan pernikahan.

Sedangkan Muktamar ke-II juga masih dilangsungkan di Kota Pahlawan. Para ulama yang hadir seperti, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, KH A Wahab Chasbullah KH Bisri, KH Ma’ruf, KH Muksan Saleh, Kiai Jauhar, Kiai Baidowi dll. Mereka membahas mengenai persoalan lebih luas, yakni masalah perbankan, gadai pemerintah, dll.

Muktamar NU ke-III, juga di Surabaya. Rapat umum yang dibuka di Masjid Ampel ini, membicarakan masalah hadis yang terdapat dalam kitab Daqoiqul Akbar. Dengan kesimpulan hadisnya Maudlu’.

Muktamar NU ke-IV, diselenggarakan di Kampung Melayu Semarang. Pembahasan saat itu seputar mengenai perpecahan yang terjadi di tubuh Syarikat Islam, pimpinan HOS Tjokroaminoto dan H Agus Salim. Sedangkan SI merah, dipimpin oleh orang Komunis.

Sejarah muktamar NU ke-V, berlangsung di Kota Batik, Pekalongan. Pembahasan yang digodok ialah seputar konflik antara penduduk pribumi dengan keturunan Tionghoa karena masalah ekonomi.

Muktamar NU ke-VI, berlangsung di Cirebon. Pembahasan yang utama seputar mengenai jumlah masjid dalam satu kota maupun soal “Ta’abud“’ supaya menghindari terjadinya perpecahan

Muktamar NU ke-VII, berlangsung di kota Bandung. Membahas mengenai masalah suntikan pada mayat mengingat saat itu umat Islam banyak yang merasa keberatan. Dalam hal ini, Hadratussyaikh KH M Hasyim mengeluarkan fatwa dalam bahasa Arab dan dibacakan oleh KH Bisri.

Muktamar NU Ke-VIII, diselenggarakan di Petamburan Jakarta. Membahas mengenai masalah penentuan awal dan akhir puasa dengan pengamatan Rukyatul Hilal.

Muktamar ke-IX diadakan di penghujung kota di Jawa Timur, Banyuwangi. Pembahasan masalah pergantian pengurus di internal NU demi penyegaran sebuah organisasi. Selain itu juga dijadikan ajang pembukaan hasil muktamar “Muqororotul Muktamar”.

Muktamar NU ke-X, berlangsung di Surakarta. Selain masalah seputar organisasi juga membahas mengenai masalah penggunaan pesawat radio dan aneka ragam kesenian.

Muktamar ke-XI, dilaksanakan di Banjarmasin. Pada muktamar inilah NU mulai syi’ar di luar Jawa. Demi memperluas perjuangan NU.

Muktamar ke-XII, berlangsung di Malang. Pada kesempatan ini menghasilkan keputusan mendirikan Gerakan Pemuda, populer dengan nama Pemuda Ansor.

Meskipun sempat, alot dan terjadi ketegangan saraf. Namun, hasilnya berhasil diselesaikan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.

Muktamar NU ke-XIII, berlangsung di kota Banten. Pembahasan utama mengenai masalah politik. Apakah NU perlu masuk ke Volksraad (Gerakan Perwakilan Rakyat) yang didirikan oleh Pemerintah Belanda.

Muktamar ke-XIV, dilangsungkan di Kota Magelang. Diantara pembahasan yang dilakukan adalah mengenai seputar pendidikan, kemasyarakatan, dll.

Muktamar ke-XV, dilangsungkan di Surabaya. Saat itu sebelum Pemerintah Belanda menyerah kepada pemerintah Jepang. Perubahan kepengurusan NU menjadi agenda utamanya.

Muktamar NU selanjutnya di Palembang. Namun, sempat mengalami kegagalan akibat mendapat serbuan Jepang pada 8 Maret 1942.

Muktamar ke-XVI berlangsung di Purwokerto. Kondisi bangsa Indonesia sudah merdeka. Topik pembahasan seputar masalah politik.

Dalam Muktamar XVII berada di kota Madiun. Pembahasan utamanya yakni perundingan posisi NU dalam Masyumi.

Muktamar XVIII: Jakarta 30 April-3 Mei 1950 M, Muktamar XIX: Palembang 26 April 1952 M, NU resmi keluar dari partai Masyumi.

Selanjutnya sejarah muktamar NU XX: dilaksanakan di Surabaya 8-13 September 1954 M, Muktamar XXI: Medan Desember 1956 M , Muktamar XXII: Jakarta Desember 1959 M, Muktamar XXIII: Solo Surakarta 25-29 Desember M, Muktamar XXIV: Bandung Juli 1967 M, Muktamar XXV: Surabaya 20-25 Desember 1971 M, Muktamar XXVI: Semarang 5-11 Juni 1979.

Sementara itu, Muktamar XXVII di Sukorejo-Situbondo pada 8-12 Desember 1984 M, Muktamar XXVI-II di Krapyak-Yogyakarta 25-28 Nopember 1989 M, Muktamar XXIX di Cipasung-Tasikmalaya 24 Desember 1994 M, Muktamar XXX: di Lirboyo-Kediri 21-26 Nopember 1999 M, Muktamar XXXI di Boyolali-Surakarta 28 Nov-2 Des 2004 M, Muktamar XXXII di Makassar 22-27 Maret 2010 M.

Harapan di Muktamar NU Selanjutnya

Pada pertengahan tahun 2015, tepatnya tanggal 1-5 Agustus, NU akan menyelenggarakan Muktamar ke-33 bertempat di empat pesantren besar, yakni Pesantren Tebuireng, Bahrul Ulum Tambak Beras, Mambaul Maarif Denanyar, dan Darul Ulum Rejoso.

Tema yang diusung, “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Dalam ajang muktamar mendatang, NU tidak hanya sekedar ajang mencari pemimpin baru.

Namun, juga ajang bermuhasabah diri. Sejauh mana NU selama ini. Apakah, berjuang di NU selama ini sudah sesuai. Apakah sebaliknya, menjadikan NU selama ini hanya sebatas guna kepentingan pribadi, misalnya kendaraan politik semata untuk meraih kursi kekuasaan.

NU kini memiliki segudang persoalan di dalamnya. Misalnya, permasalahan akidah, syariah, manhaj dan moralitas sekaligus masalah-masalah lain seperti kepentingan politik elit NU saban pemilu berlangsung, kemiskinan, pengangguran, ketertinggalan, sosial, dll.

Dalam momentum muktamar NU ke-33 yang diselenggarakan di empat pesantren besar, selain menjadi ajang memetik spirit perjuang para muasis NU juga bersama-sama membangun kesadaran akan masa depan NU.

Hajatan besar ini jika dimaknai biasa saja tidak akan membawa dampak manfaat besar bagi pengurus dan warga NU.

Sesungguhnya, muktamar mempertaruhkan masa depan NU. Setidaknya, ada beberapa rekomendasi penting dalam muktamar, yaitu: NU butuh pemimpin baru yang dapat membawa perubahan signifikan.

Penataan organisasi di dalamnya sudah tak bisa ditawar-tawar, memberdayakan jamaahnya, dan ikut serta berjihad melawan koruptor.

Berjihad melawan koruptor misalnya, jika para muasis NU dahulu mempertaruhkan jiwa dan raganya bahkan materi untuk berjuang membebaskan NKRI dari cengkraman penjajah, seharusnya para ulama NU sekarang ini berada di garis terdepan untuk berjihad melawan koruptor.

Tanpa NU sudah pasti negara keteteran menghadapi para mafia. Memetik spirit perjuangan para muasis NU dalam berjuang, saya kira menjadi hal perlu dipetik oleh para ulama NU.

Kita tidak ingin, dalam muktamar NU mendatang semua hanya sebatas rekomendasi. Sudah menjadi tanggungjawab bersama para pemimpin NU generasi sekarang dari berbagai tingkatan untuk membawa NU lebih siap dan sigap dalam menghadapi tantangan zaman. Semoga!

Oleh: Ahmad Faozan

Minggu, 08 Agustus 2021

Latihan dan tugas PAI kelas XI

Latihan dan tugas 
Mapel PAI kelas XI
1. Tulilslah dengan benar surat an-Nisa ayat 59.
2. Buat lah sebuah makalah tentang Taat atau patuh kepada Ulil Amri... Khususnya di Indonesia. 


1. Tugas di serahkan langsung ke p abdul khoir.. Lewat media atau langsung. 
2. Silahkan absensi di isi dengan memuliakan nama dan kelas pada kolom komentar di bawah.. 


Minggu, 01 Agustus 2021

kandungan Alquran Surat anisa 59

Taat Kepada Ulil Amri. 
Materi PAI kelas Xi pertemuan ke 2

Sikap terhadap Pemimpin Menurut Ajaran Islam. 
Setelah usai dari perhelatan pesta demokrasi untuk memilih presiden, ada hal-hal yang perlu bahkan wajib kita perhatikan mengenai bagaimana pandangan syariat Islam dan sikap yang harus kita jalani terhadap pemimpin yang terpilih secara sah dan demokratis di negara kita tercinta, Indonesia. 
Di antaranya adalah : Kewajiban Menaati Pemimpin dalam Kebajikan Ketaatan kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits sangat banyak sekali. Dalil di dalam Al-Qur’an di antaranya adalah firman Allah ta'ala: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
 "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." (QS. An Nisa' [4]:  Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh perintah "taatilah" karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (tâbi') dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban mendengar dan taat kepada mereka Dalil-dalil ketaatan kepada pemimpin meskipun mereka zalim di dalam hadits: 
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
 "Abu Hunaidah (wail) bin Hudjur RA berkata: Salamah binti Yazid Al Ju'fi bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Ya Rasulullah, bagaimana jika terangkat di atas kami kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka bagaimanakah anda memerintahkan pada kami ? Pada mulanya beliau mengabaikan pertanyaan itu, hingga beliau ditanya yang kedua kalinya atau ketiga kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menarik Al Asy'ats bin Qois dan bersabda: Dengarlah dan taatlah kamu sekalian (pada mereka), maka sesungguhnya di atas mereka ada tanggung jawab/kewajiban atas mereka sendiri dan bagimu ada tanggung jawab tersendiri." (HR Muslim) 
وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: { سَيَلِيكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ فَيَلِيكُمْ الْبَرُّ بِبِرِّهِ ، وَيَلِيكُمْ الْفَاجِرُ بِفُجُورِهِ ، فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ ، فَإِنْ أَحْسَنُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ ، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ "Sepeninggalku nanti ada pemimpin-pemimpin yang akan memimpin kalian, pemimpin yang baik akan memimpin dengan kebaikannya dan pemimpin yang fajir akan memimpin kalian dengan kefajirannya. Maka dengarlah dan taatilah mereka pada perkara-perkara yang sesuai dengan kebenaran saja. Apabila mereka berbuat baik maka kebaikannya adalah bagimu dan untuk mereka, jika mereka berbuat buruk maka bagimu (untuk tetap berbuat baik) dan bagi mereka (keburukan mereka)." (HR Bukhari Muslim) 
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ 
"Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan berada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam jasad manusia." (Hudzaifah berkata), "Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?" Beliau menjawab, "Engkau dengar dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil." (HR. Muslim) Padahal sudah maklum kita ketahui, bahwa menyiksa atau memukul punggung seseorang dan mengambil harta tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syari'at–tanpa ragu lagi—termasuk maksiat. Seseorang tidak boleh mengatakan kepada pemimpinnya tersebut, "Saya tidak akan taat kepadamu sampai engkau menaati Rabb-mu." Perkataan semacam ini adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib menaati mereka (pemimpin) walaupun mereka durhaka kepada Rabb-nya. Adapun jika mereka memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk mendengar dan menaati mereka. Karena Rabb pemimpin kita dan Rabb kita (rakyat) adalah satu yaitu Allah Ta'ala oleh karena itu wajib taat kepada-Nya. Apabila mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ "Tidak ada kewajiban taat dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma'ruf (bukan maksiat)." (HR. Bukhari no. 7257) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
 عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ "Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat." (HR. Bukhari no. 7144) 
Menghindari Fitnah dan Pertumpahan Darah Kita harus memperhatikan kewajiban mendengar dan taat kepada penguasa. Karena, bila kita tidak menaati mereka, maka akan terjadi kekacauan, pertumpahan darah dan terjadi korban pada kaum muslimin. Ingatlah bahwa darah kaum muslimin itu lebih mulia daripada hancurnya dunia ini. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ "Hancurnya dunia ini lebih ringan (dosanya) daripada terbunuhnya seorang muslim." (HR. Tirmidzi) Sekarang kita dapat menyaksikan orang-orang yang memberontak kepada penguasa. Mereka hanya mengajak kepada pertumpahan darah dan banyak di antara kaum muslimin yang tidak bersalah menjadi korban. Yang wajib dan terbaik adalah mendengar dan menaati mereka. Namun bukan berarti tidak ada amar ma'ruf nahi munkar. Hal itu tetap ada tetapi harus dilakukan menurut kaidah yang telah ditetapkan oleh syari'at yang mulia ini. Sahabat 'Amr bin 'Ash berkata kepada putranya, Abdullah: 
عن عمرو بن العاص رضي الله عنه أنه قال لابنه عبد الله: يا بني! سلطان عادل خير من مطر وابل، وأسد حطوم خير من سلطان ظلوم، وسلطان غشوم ظلوم خير من فتنة تدوم 
“Wahai anakku, pemimpin yang aqdil itu lebih baik dibandingkan dengan hujan yang deras, macan yang buas lebih baik daripada pemimpin yang zalim sedangkan pemimpin yang sangat zalim itu masih lebih baik dibandingkan dengan fitnah yang permanen (dikarenakan tidak ada pemimpin sama sekali).” Syekh 'Ali Jum'ah, mantan mufti Mesir menyitir maqalah Imam Malik: 
حاكم ظلوم غشوم ولا فتنة تدوم 
“(Tetaplah menaati) pemimpin yang zalim dan jangan sampai terjadi fitnah yang berkepanjangan tanpa akhir. Lalu beliau berkomentar: 
فوجدنا من يخرج علينا هذه الأيام ويقول أخطأ مالك بل الفتنة أفضل من الحاكم الظالم . نقول لهذا الشخص أنك من الخوارج .لأنه يريد الفساد فى الأرض . 

 "Pada masa ini kita mendapati seseorang yang menyempal dari kita seraya berkata: "Pemimpin sudah berbuat kesalahan bahkan fitnah (kekacauan denga tidak mengakui adanya pemimpin yang sah untuk ditaati) itu lebih baik dibandingkan dengan pemerintah yang zalim." Komentar kami (Syekh Ali Jum'ah) untuk orang ini: "Anda termasuk golongan Khowarij, karena yang dikehendaki adalah kerusakan di muka bumi." Amar Ma'ruf Nahi munkar kepada Pemimpin Berikut ini adalah dalil kebolehan amar ma'ruf, nahi munkar dengan cara mengkritik pemimpin/pemerintah:
 وقال صلى الله عليه وسلم: أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر 
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sebaik-baik jihad adalah ucapan yang hak disisi pemimpin yang zalim. (HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah) Namun demikian, amar ma'ruf nahi munkar harus dengan lemah lembut dan pelakunya harus mempunyai ilmu yang cukup agar bisa bertindak dengan benar. Al-Imam Sufyan ats-Tsauri berkata: 
لا يأمر بالمعروف وينهى عن المنكر إلا من كان فيه ثلاث خصال: رفيق بما يأمر، رفيق بما ينهى، عدل بما يأمر، عدل بما ينهى، عالم بما يأمر، عالم بما ينهى "Seseorang tidak boleh melakukan amar ma'ruf nahi munkar melainkan ada pada dirinya tiga perangai: lemah lembut ketika menyeru dan mencegah, adil ketika menyeru dan mencegah, mengilmui sesuatu yang diseru dan dicegahnya." (Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami'ul Ulum wal Hikam) Dikisahkan ada seseorang yang akan beramar ma'ruf dan nahi munkar, lalu dia meminta pendapat kepada seorang ulama agar diizinkan dengan cara yang keras karena pelakunya itu sudah dianggap keterlaluan, namun sang ulama menjawab bahwa kamu tidak lebih baik dari Nabi Musa as dan orang yang akan kamu nasihati tidak lebih jahat dari Fir'aun, tapi Allah di dalam Al-Qur’an tetap memerintahkan Nabi Musa as dan Nabi Harun as) untuk berbicara dengan lemah lembut kepada Fir'aun:  
اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ، فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ 
"Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut. (QS. Thaha 43-44) Kemudian kita tidak boleh membenarkan kebohongan dan mendukung kezaliman mereka. Dari Ka'ab bin Ujroh radhiyallahu 'anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar mendekati kami, lalu bersabda:
 إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ بَعْدِي أُمَرَاءٌ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهمْ ، فَلَيْسُ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ ، وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ حَوْضِي ، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ ، فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَسَيَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ 
"Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang berdusta. Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung kezaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di hari kiamat). Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kezaliman mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat)." (HR. Ahmad dan An-Nasa'i) Larangan Memberontak dan Menyibukkan Diri Mencelanya Al-Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan di antara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah: 
ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة "

Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan." (Al-Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi Al-Hanafi, dalam Al-Aqidah Ath-Thahawiyah) Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menukil ijma'. Dari Ibnu Batthal rahimahullah, ia berkata: "Para fuqaha telah sepakat wajibnya taat kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya, dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak." (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 13/7) Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alawy Al Haddad dalam kitabnya 'Adda'wah Attammah menjelaskan tentang sikap yang harus dilaksanakan kepada pemimpin: 
 ومهما كان الولي مصلحا حسن الرعاية جميل السيرة كان على الرعية أن يعينوه بالدعاء له و الثناء عليه بالخير "Jika seorang pemimpin membawa kemaslahatan untuk rakyat, bersungguh-sungguh dalam memberi perhatian kepada mereka, dan mempunyai kinerja yang bagus maka rakyat harus membantunya dengan berdoa untuknya serta memujinya atas kinerjanya yang bagus".
 ومهما كان مفسدا مخلطا كان عليهم ان يدعوا له بالصلاح والتوفيق و الاستقامة وألا يشغلوا ألسنتهم بذمه والدعاء عليه فإن ذلك يزيد في فساده واعوجاجه ويعود وبال ذلك عليهم.  

Jika ia membawa kerusakan, mencampur aduk antara kebenaran dan kebatilan, maka kewajiban kita—sebagai rakyat—adalah mendoakan, semoga Allah segera memperbaiki keadaan pemimpin kita itu, memberi ia petunjuk kepada jalan yang benar, dan memberinya sifat istiqamah dalam hal-hal yang diridhai Allah—dalam kepemimpinannya. Dan janganlah kita sibuk mencela dan berdoa buruk atas dirinya, karena itu semua malah akan menambah kerusakan dan kezalimannya dan kita sendiri yang akan merasakan dampak-dampak buruknya. 
قال الفضيل رحمه الله لو كانت لي دعوة مستجابة لم اجعلها إلا للامام. لأن الله إذا اصلح الامام أمن العباد و البلاد. وفي بعض الآثار عن الله تعالى أنه قال انا الملك قلوب الملوك بيدي فمن أطاعني جعلتهم عليه نعمة و من عصاني جعلتهم عليه نقمة فلا تشغلوا أنفسكم بسب الملوك و سلوني أعطف قلوبهم عليكم  

Berkata Al-Imam Fudhail Bin Iyadh rahimahullah:  "Andai saja aku mempunyai satu doa yang pasti dikabulkan Allah, maka aku akan menjadikannya (untuk berdoa yang baik) untuk pemimpinku, karena jika Pemimpin kita baik, maka negara akan aman dan masyarakat tentram. Allah berfirman dalam sebagian hadits qudsi: "Aku adalah Maha Raja. Hati para raja ada di genggamanku. Maka barang siapa yang taat padaku, akan aku jadikan mereka (para raja/pemimpin) nikmat baginya, dan barang siapa yang melanggar perintah-Ku akan aku jadikan mereka sebagai musibah atas dirinya. Maka janganlah kalian sibuk mencela dan mencaci maki pemimpin-pemimpin kalian, akan tetapi memintalah padaku, maka akan aku lembutkan hati mereka untuk kalian". Semoga Allah menguasakan kepada kita pemimpin-pemimpin yang takut kepada-Nya, mau mengasihi kita dan menjadikan Indonesia sebagai baldah thayyibah wa rabbun ghafuur.... Amiin. Wallahu a'lam... Ustadz Dodi el Hasyimi, Aswaja NU Center Bojonegoro, Jawa Timur

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/106733/sikap-terhadap-pemimpin-menurut-ajaran-islam
===
Yuk, install NU Online Super App versi Android (s.id/nuonline) dan versi iOS (s.id/nuonline_ios). Akses dengan mudah fitur Al-Qur'an, Yasin & Tahlil, Jadwal Shalat, Kompas Kiblat, Wirid, Ziarah, Ensiklopedia NU, Maulid, Khutbah, Doa, dan lain-lain.

Kamis, 29 Juli 2021

Pengertian Ilmu Tauhid

Aslmalykum wr wb...yth siswa kelas 12
TL. TKR. TKJ. AK. 
Berikut materi pertama. Pelajaran aqidah
Kelas 12.
Ilmu Tauhid dan dasar dasar nya hal 5 dan 6.
Silahkan di simak... 
Lalu absen dalam kolom komentar dibawah
Terimakasih
Ttd
Abdul Khoir, S. Ag

Minggu, 25 Juli 2021

al-quran surat al-maidah ayat 48

Surat Al Maidah Ayat 48 

Surat al maidah ayat 48 ini juga menjelaskan bahwa tiap umat beragama memiliki syariat dan manhaj masing-masing.

Dream – Surat al Maidah ayat 48 perlu diketahui arti dan maknanya karena mengandung pelajaran yang sangat baik sebagai pedoman. Surat Al Maidah merupakan surat ke-5 dalam Al Quran yang tergolong surat madaniyah.

Surat Al maidah memiliki arti ‘hidangan’ yang terdiri dari 120 ayat. Sebab ayat-ayat dalam surat Al Maidah menceritakan peristiwa perjamuan Nabi Isa alaihissalam dengan para pengikutnya dengan hidangan yang turun dari langit dan dimaknai sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa

Ayat-ayat dalam surat Al Maidah diturunkan setelah Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah yaitu sewaktu peristiwa haji wada’.

Salah satu ayat yang perlu dipahami maknanya adalah surat Al Maidah ayat 48. Dilansir dari berbagai sumber, berikut penjelasannya disertai tafsir dan isi kandungannya.

Surat Al Maidah Ayat 48 Arab, Latin, Terjemahan dan Penjelasan Tafsir

Surat Al Maidah Ayat 48 Arab

Dikutip dari quran.kemenag.go.id, berikut bunyi surat al maidah ayat 48 arab:

 Ilustrasi

Terjemahan Surat Al Maidah Ayat 48

" Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.

Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan."

Tafsir Surat Al Maidah Ayat 48

Dilansir dari umma.id, tafsir surat Al Maidah ayat 48 yang satu ini disarikan darii Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fii Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar dan Tafsir Munir supaya lebih bisa dipahami dengan mudah. Berikut tafsir surat Al Maidah ayat 48 yang merupakan intisari dari tafsir tersebut:

1. Iman Kepada Al Quran dan Kitab-Kitab Sebelumnya

Tafsir surat Al Maidah ayat 48 adalah menjelaskan salah satu fungsi al Quran sebagai pembawa kebenaran, membenarkan sebelumnya, dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang. Ayat 48 ini menjelaskan bahwa Allah menurunkan Al Quran kepada Muhammad Saw dengan haq. “ Yakni membawa kebenaran dan tiada keraguan di dalamnya,” tulis Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

2. Al Quran Sebagai Pedoman Hidup

Tafsir surat al maidah ayat 48 selanjutnya adalah Allah memerintahkan manusia untuk berpegang teguh kepada al quran dan menjadikannya pedoman hidup.

Ibnu Abbas menjelaskan bahwa surat al maidah ayat 48 turun berkenaan dengan orang ahli kitab yang meminta keputusan kepada Rasulullah. Mulanya beliau diberi pilihan untuk memutuskan perkara mereka atau mengembalikan perkata itu kepada kitab mereka masing-masing. Namun allah menurunkan ayat 48 ini.

“ Dengan turunnya ayat ini, rasulullah dieprintahkan untuk memutuskan perkara di antara mereka (ahli kitab) dengan apa yang ada pada al quran,” kata Ibnu Katsir.

3. Tiap Umat Memiliki Syariat Masing-Masing

Surat al maidah ayat 48 ini juga menjelaskan bahwa tiap umat beragama memiliki syariat dan manhaj masing-masing, seperti dalam kalimat ‘untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” Ilustrasi

Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, syir’ata adalah tuntunan, minhaja adalah jalan. Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan syir’ata adalah apa yang disyariatkan Allah untuk para hambanya berupa agama, sistem, aturan dan hukum-hukumnya. Sedangkan minhaja adalah jalan terang yang ditempuh manusia dalam beragama.

4. Berlomba-Lomba dalam Kebaikan

Melalui al maidah ayat 48 Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berlomba dalam kebaikan. Seandainya Allah menghendaki, mudah saja bagi-Nya menjadikan seluruh manusia sejak nabi adam hingga kiamat menjadi satu umat saja. Namun Allah hendak menguji manusia. Karenanya Dia memerintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.

Ibnu Katsir menjelaskan Allah telah menetapkan berbagai macam syariat untuk menguji hamba-Nya dengan memberi pahala kepada orang yang taat dan menyiksa mereka yang durhaka.

“ Berlomba-lombalah kamu semuanya berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik di dalam dunia ini, dengan memegang pokok pertama yaitu ketaatan kepada Allah dan percaya bahwa di belakang hidup yang sekarang ini ada lagi hidup akhirat,” tulis Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar

5. Semua Akan Kembali Kepada Allah

Tafsir surat al maidah ayat 48 ini juga menegaskan bahwa manusia akan kembali kepada-Nya. Seperti yang dikatakan Buya Hamka, di belakang hidup yang sekarang ini ada lagi hidupa khirat. Bahwa semua akan kembali kepada Allah dan akan diberitahukan apa yang diperselisihkan.

Apa yang diperselisihkan adalah tentang akhirat itu sendiri. Orang kafir tidak percaya adanya akhirat, mereka berselisih mengenai hal yang pasti. Kelak mereka akan diberitahu dan mendapatkan balasannya